Jumat, 20 Maret 2015

PEREKONOMIAN INDONESIA BAB 1

                                         Bab 1

         1. Kemiskinan dengan menggunakan indeks serta pendapatan             distribusi pendapatan
            Secara empiris, Booth (2000) dalam penelitiannya telah menginventarisir data kemiskinan di Indonesia. Berkisar pada tahun 1976-1981 menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan dan pedesaan, dengan kecenderungan angka-angka di bawah garis kemiskinan yang turun lebih  tajam di daerah  pedesaan. Tahun 1981 diperkirakan  terdapat  40,6 juta orang Indonesia di bawah garis kemiskinan, yakni  31,3 juta orang diantaranya berada di wilayah perdesaan, dan 9,3 juta sisanya berada di wilayah perkotaan.
            Secara etimologis, “kemiskinan” berasal dari kata “miskin” yang artinya tidak berharta benda dan dalam keadaan yang serba kekurangan. Departemen Sosial dan Badan Pusat Statistik mendefinisikan kemiskinan dari perspektif kebutuhan dasar. Oleh karena itu, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak mampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPSdan Depsos, 2002). Bahkan dapat disebutkan bahwa kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada dibawah  garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty treshold).
            Frank Ellis (dalam Suharto, 2005) menyatakan bahwa kemiskinan memiliki berbagai dimensi yang menyangkut aspek ekonomi, politik, dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat disefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Dalam hal ini tentu sumber daya tidak hanya menyangkut masalah finansial  saja, tapi juga meliputi semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan hal tersebut, kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line).
            Konsep kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. David Harry Penny (1990:140) mendefinisikan kemiskinan absolut dalam kaitannya dengan suatu sumber-sumber materi, yang dibawahnya tidak ada kemungkinan kehidupan berlanjut; dengan kata lain hal ini adalah tingkat kelaparan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah perhitungan kemiskinan yang didasarkan pada proporsi distribusi pendapatan dalam suatu negara. World Bank (BPS dalam Haryati, 2003:95) menyusun ukuran kemiskinan relatif yang sekaligus digunakan untuk mengukur tingkat pemerataan, yaitu dengan membagi penduduk menjadi tiga kelompok: (1) kelompok 40% penduduk berpendapatan rendah, 40% penduduk berpendapatan menengah dan 20% penduduk berpendapatan tinggi.
            Menentukan ukuran kemiskinan bukanlah hal yang mudah. Kesulitannya bukan hanya pada indikator apa yang akan digunakan, tapi juga bagaimana menggunakan indikator tersebut pada suatu individu, keluarga, kelompok orang atau masyarakat. Untuk mempermudah dalam mengukur kemiskinan tersebut, kemudian muncul konsep poverty line (garis kemiskinan).
            Dalam memerangi kemiskinan diperlukan strategi yang tepat dan akurat, sehingga dibutuhkan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran yang dapat dibagi menurut waktu, yaitu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Intervensi jangka pendek merupakan yang terutama dari pembangunan sektor pertanian, usaha kecil, dan ekonomi pedesaan. Hal ini penting mengingat akan fakta yang ada bahwa di satu pihak, hingga saat ini sebagian besar wilayah Indonesia masih pedesaan dan sebagian penduduk Indonesia. Kebijakan lembaga dunia mencakup World Bank, ADB, UNDP, ILO, dan sebagainya mengeluarkan kebijakan untuk memerangi kemiskinan, melalui:
a) Pertumbuhan ekonomi yang luas dan menciptakan lapangan kerja yang padat karya.
b) Pengembangan SDM.
c) Membuat jaringan pengaman sosial bagi penduduk miskin yang tidak mampu memperoleh dan menikmati pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja serta pengembangan SDM sebagai akibat dari cacat fisik dan mental, bencana, konflik sosial atau wilayah yang terisolasi.
World bank (2000) memberikan metode baru dalam memerangi kemiskinan dengan 3 pilar:
a.   Pemberdayaan yaitu proses peningkatan kapasitas penduduk miskin untuk mempengaruhi lembaga-lembaga pemerintah yang mempengaruhi kehidupan mereka dengan memperkuat partisipasi mereka dalam proses politik dan pengambilan keputusan tingkat lokal.
b.  Keamanan yaitu proteksi bagi orang miskin terhadap goncangan yang merugikan melalui manajemen yang lebih baik dalam menangani goncangan ekonomi makro dan jaringan pengaman yang lebih komprehensif.
c.  Kesempatan yaitu proses peningkatan akses kaum miskin terhadap modal fisik dan modal manusia dan peningkatan tingkat pengembalian dari asset asset tersebut.
Pemerintah lebih baik memberikan program dalam bentuk pemberdayaan yang melibatkan peran serta seluruh masyarakat. Program-program pengentasan kemiskinan mendatang sebaiknya dikembangkan dengan model pembangunan komunitas/ community development yang melibatkan turut serta aktif masyarakat. Dengan comdev yang merupakan program pemberdayaan, masyarakat miskin diberikan akses yang luas untuk meningkatkan kualitas hidupnya menjadi lebih baik.
Kebijakan yang tepat dan sistematis dalam pengentasan kemiskinan dalam bentuk program-progran pemberdayaan masyarakat lebih efektif dalam menurunkan jumlah orang miskin di negeri ini hal ini sudah terbukti di negara-negara seperti Cina dan India. Analoginya sederhana kita bukan memberikan ikan tetapi pancingannya dan membina mereka bagaimana cara memancing ikan yang benar. Hal itulah yang harus dilakukan oleh pemerintah kita, karena jika rakyat terbiasa diberi ikan, lama-kelamaan akan muncil budaya malas.



                   2. Menganalisis  distribusi fungsional
            Distribusi pendapatan fungsional ini menjelaskan tentang proporsi dari pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi. Kurva penawaran dan permintaan digunakan untuk menentukan harga-harga dari masing-masing faktor produksi.
            Dalam suatu pasar persaingan dengan fungsi produksi yang bersifat constant returns to scale,harga-harga faktor produksi ditentukan oleh kurva penawaran dan permintaan faktor produksi tersebut. Pendapatan didistribusikan menurut 'fungsi' yaitu tenaga kerja menerima upah,pemilik tanah menerima sewa,dan kaum kapitalis menerima keuntungan (laba). Hal ini merupakan teori urni dan logis karena masing-masing faktor produksi memperoleh pembayaran sesuai dengan konstribusinya terhadap pendapatan nasional,tidak kurang dan tidak lebih. Jadi, Setiap faktor industri akan memperoleh imbalan sesuai dengan distribusinya pada produksi nasional.



                  3. Menganalisis kebijakan distribusi pendapatan

            Masalah utama dalam distribusi pendapatan adalah terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini bisa terjadi akibat perbedaan produktivitas yang dimiliki oleh setiap individu dimana satu individu/kelompok mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan individu/kelompok lain, sehingga ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga terjadi di beberapa negara di dunia. Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah keadaan, dan tidak jarang menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosisal dan politik.

            Ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan merupakan sebuah realita yang ada di tengah-tengah masyarakat dunia ini baik di negara maju maupun negara berkembang, Perbedaannya terletak pada proporsi tingkat ketimpangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu negara.

            Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak propoor hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja, sehingga ini menjadi isu sangat penting dalam menyikapi angka kemiskinan hingga saat ini.

Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy, 1999)

Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincolin Arsyad, 1997) ada 8 hal yang menyebabkan ketimpangan distribusi di Negara Sedang Berkembang:
1.                  Pertumbuhan penduuduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita
2.                  Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang
3.                  Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
4.                  Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase pendapatan modal kerja tambahan besar dibandingkan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah
5.                  Rendahnya mobilitas sosial
6.                  Pelaksanaan kebijakan industry substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industry untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis
7.                  Memburuknya nilai tukar bagi NSB dalam perdagangan dengan Negara- Negara maju, sebagi akibat ketidak elastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor NSB
8.                  Hancurnya industry kerajinan rakyat seperti pertukangan, industry rumah tangga, dan lain-lain



                 4. Menganalisis fakta kemiskinan menggunakan data dan           
                                               kebijakan

            Pendapatan per kapita penduduk Indonesia menembus angka US $ 18,000 atau sekitar Rp. 180.000.000,00 per tahun. Angka tersebut jauh di atas beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia yang hanya memiliki pendapatan per kapita penduduk US $ 6,220, atau Thailand dengan pendapatan per kapita penduduknya US $ 2,990. Rekor tersebut hampir menyamai Korea yang memiliki income per kapita penduduk US $ 20,000, meskipun masih jauh di bawah Jepang, Australia, dan Amerika yang memiliki pendapatan per kapita penduduk di atas US $ 30,000. Itulah topik terhangat yang dicatat di halaman surat kabar nasional pada tahun 2030. Itu pun hanya prediksi beberapa ahli yang mengabaikan peningkatan pendapatan beberapa negara lain di atas yang memang memiliki pendapatan per kapita seperti apa yang tertulis saat ini. Dengan berat hati kita harus mengakui bahwa pendapatan per kapita penduduk Indonesia hanya US $ 1,946 pada tahun 2008, jauh di bawah Jepang US $ 34,189, Amerika US $ 43,444, Australia US $ 50,000, dan Singapura US $ 29,320. Apa masyarakat Indonesia harus menunggu sampai tahun 2030? Dan apa mungkin di tahun 2030 prediksi itu benar-benar akan tercapai? Atau itu hanyalah mimpi indah belaka bagi rakyat Indonesia? Sampai sekarang masalah kemiskinan masih menjadi “hantu” yang menakutkan bagi sebagian besar rakyat Indonesia.
            
            Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Selain bersifat laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan negara maju sepeti inggris dan Amerika Serikat.
Negara inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa. Sedangkan Amerika Serikat bahkan mengalami depresi dan resesi ekonomi pada tahun 1930-an dan baru setelah tiga puluh tahun kemudian Amerika Serikat tercatat sebagai Negara Adidaya dan terkaya di dunia. Pada kesempatan ini penyusun mencoba memaparkan secara global kemiskinan Negara-negara di dunia ketiga, yaitu Negara-negara berkembang yang nota-benenya ada di belahan benua Asia. Kemudian juga pemaparan secara spesifik mengenai kemiskinan di Negara Indonesia.        
            
 Adapun yang dimaksudkan Negara berkembang adalah Negara yang memiliki standar pendapatan rendah dengan infrastruktur yang relatif terbelakang dan minimnya indeks perkembangan manusia dengan norma secara global. Dalam hal ini kemiskinan tersebut meliputi sebagian negara-negara Timur-Tengah, Asia selatan, Asia tenggara dan negara-negara pinggiran benua Asia.
             Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu kemiskinan alami dan kemiskinan buatan. kemiskinan alami terjadi akibat sumber daya alam (SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang berkompeten dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, sehingga mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut. Dampaknya, para ekonom selalu gencar mengkritik kebijakan pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ketimbang dari pemerataan.

Pembahasan Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
            
 Beberapa faktor yang mempengaruhi kemerosotan standar perkembangan pendapatan per-kapita:
a) Naiknya standar perkembangan suatu daerah.
b) Politik ekonomi yang tidak sehat.
c) Faktor-faktor luar negeri, diantaranya: - Rusaknya syarat-syarat perdagangan - Beban hutang - Kurangnya bantuan luar negeri, dan Menurunnya etos kerja dan produktivitas masyarakat.
            
 Indonesia berada pada Tier Medium Human Development peringkat ke 110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja. Jumlah kemiskinan dan persentase penduduk miskin selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun, meskipun ada kecenderungan menurun pada salah satu periode (2000-2005).
            
 Pada periode 1996-1999 penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta, yaitu dari 34,01 juta(17,47%) menjadi 47,97 juta (23,43%) pada tahun 1999. Kembali cerah ketika periode 1999-2002, penduduk miskin menurun 9,57 juta yaitu dari 47,97 (23,43%) menurun menjadi 38,48 juta (18,20%). Keadaan ini terulang ketika periode berikutnya (2002-2005) yaitu penurunan penduduk miskin hingga 35,10 juta pada tahun 2005 dengan presentasi menurun dari 18,20% menjadi 15,97 %. Sedangkan pada tahun 2006 penduduk miskin bertambah dari 35,10 juta (15,97%) menjadi 39,05 juta (17,75%) berarti penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (1,78%).

kehidupan masyarakat Indonesia meskipun kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,692 yang masih menempati peringkat lebih rendah dari Malaysia dan Thailand di antara negara-negara ASEAN. Sementara, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada tahun yang sama sebesar 0,178 masih lebih tinggi dari Filipina dan Thailand. Selain itu, kesenjangan gender di Indonesia masih relatif lebih besar dibanding negara ASEAN lainnya. Tantangan lainnya adalah kesenjangan antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Data Susenas (National Social Ekonomi Survey) 2004 menunjukkan bahwa sekitar 69,0 % penduduk Indonesia termasuk penduduk miskin yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian.

Selain itu juga tantangan yang sangat memilukan adalah kemiskinan di alami oleh kaum perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peranan wanita, terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya angka pembangunan gender (Genderrelated Development Indeks, GDI) dan angka Indeks pemberdayaan Gender(Gender Empowerment Measurement,GEM).

Akan tetapi ketika pemerintah daerah kurang peka terhadap keadaan lingkungan sekitar, hal ini sangat berpotensi sekali untuk membawa masyarakat ke jurang kemiskinan, serta bisa menimbulkan bahaya besar dalam skala Nasional. Kebijakan dan Program Penuntasan Kemiskinan Upaya penanggulangan kemiskinan Indonesia telah dilakukan dan menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama.


Daftar Pustaka

http://ekonomikelasx.blogspot.com/2012/02/indikator-ketimpangan-distribusi.html
http://sosialsosial-ips1.blogspot.com/2011/10/distribusi-pendapatan-nasional.html
http://filzanadhila.blogspot.com/2011/02/distribusi-pendapatan-nasional.html

PEREKONOMIAN INDONESIA BAB 2

 Nama : Marta Megasari
Npm   : 26214428 
Kelas  : 1EB28
                                                

                                      Perekonomian Indonesia

                                                    Bab 2    
1.      Menganalisis mengenai pembangunan daerah, otonomi ,        serta hubungan keduanya
•                     Pembangunan daerah
Pembangunan Daerah merupakan suatu usaha yang sistematik dari berbagai pelaku, baik umum, pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial ekonomi dan aspek lingkungan lainnya sehingga peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan.
•                     Otonomi Daerah    
Otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya untuk mewujudkan tercapainya salah asatu tujuan negara, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya. Daerah memilki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakatyang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Tujuan pemberian otonomi daerah yaitu untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan (Kuncoro, 2004).
•                     Hubungan Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Kebijakan mengenai otonomi daerah tentunya diiringi dengan adanya asas desentralisasi. Desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti yang diungkapkan oleh Gerald S. Maryanow (2003) yaitu merupakan dua sisi dari satu mata uang. Desentralisasi tersebut tentunya mencakup penyerahan wewenang dalam mengelola keuangan daerahnya. Sehingga salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah yakni adanya kebijakan desentralisasi fiskal.


2.      Menganalisis perbedaan ekonomi pada tingkat provinsi dan   kabupaten

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).
Masalah pokok dalam pembangunan daerah berada pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Sehingga kita peru melakukan pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi.

Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan-pembentukan institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikam kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan pengembangan perusahaan-perusahan baru.
Ada beberapa indikator untuk menganalisis derajat kesenjangan dalam pembangunan ekonomi antarprovinsi, yaitu produk domestik regional bruto (PDRB) per provinsi dalam pembentukan PDB nasional, PDRB atau pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita, indeks pembangunan manusia (IPM), kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, dan tingkat kemiskinan.

1.         Distribusi PDB Nasional Menurut Provinsi
Distribusi PDB Nasional menurut provinsi merupakan indikator utama di antara indikator lain yang umum untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu negara. Jika PDRB relatif sama antar povinsi, maka PDB nasional relatif merata ntar provinsi, sehingga ketimpangan pembangunan antar provinsi relatif kecil.
Salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa jika output agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas), kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas, seperti di Aceh, Riau, Kalimantan Timur menjadi lebih kecil lagi.Aceh menyumbang 3% terhadap PDB Indonesia; tanpa gas hanya menyumbang 50%. Hal ini berarti 50% dari perekonomian Aceh tergantung pada perekonomian sektor gas.
Begitu pula dengan Riau dan Kalimantan Timur yang menyumbang 5% pada PDB Indonesia, sedangkan tanpa minyak perannya hanya 2%. Namun, pada tahun 2000, kontirbusi output regional yang dihasilkan oleh Aceh dan Kaltim dengan dukungan sektor migas menurun menjadi 2,5% dan 1,6%, sedangkan Riau mengalami peningkatan menjadi 5,4%. Hal ini memberikan kesan bahwa bukan suatu jaminan bagi kinerja ekonomi suatu daerah yang kaya akan migas.

2.         PDRB Rata-rata per Kapita antar Provinsi
Karena tujuan dari pembangunan ekonomi adalah miningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ini umum diukur dengan pendapatan rata-rata per kapita, maka distribusi PDB Nasional menurut provinsi menjadi indikator yang tidak berarti dalam mengukur ketimpangan pembangunan ekonomi regional jika tidak dikombinasikan dengan tingkat PDRB rata-rata per kapita.

Jika PDRB per kapita di atas 2 juta rupiah dianggap tinggi dan sebaliknya di bawah 2 juta dianggap rendah, dan pertumbuhan PDB per kapita tinggi jika di atas 3%, dan rendah jika lebih kecil dari 3%.
Hasil perhitungan Tadjoeddin dkk. (2001) menunjukkan bahwa PDRB dari 7 daerah pusat migas di Indonesia, yakni Aceh Utara, kepulauan Riau dan Bengkalis, Kutai, Bulungan dan Balikpapan, dan Fakfak (Papua) menguasai 72% dari PDB migas nasional. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa semua daerah ini dengan jumlah penduduk yang hanya 9% dari total populasi Indonesia menyumbang 33% dari PDB Nasional.
3.          Konsumsi rumah Tangga per Kapita antar Provinsi
Pengeluran Konsumsi C Rumah Tangga (RT) per kapita per provinsi merupakan salah satu indikator alternatif yang dapat dijadikan ukuran untuk melihat perbedaan dalam tingkat kesejahteraan penduduk atntar provinsi. Konsepnya adalah semakin tinggi pendapatan per kapita suatu daerah, maka akan semakin tinggi juga pengeluaran konsumsi per kaita di daerah tersebut. Dalam hal ini juga terdapat 2 asumsi, yaitu sifat menabung dari masyarakat tidak berubah (S terhadap PDRB tidak berubah) dan pangsa kredit di dalam RT juga konstan. Tinggi rendahnya pengeluara C RT tidak dapat selalu mencerminkan tinggi rendahnya pendapatan per kapita di suatu daerah, tanpa kedua asumsi tersebut.
Dengan memakai data BPS mengenai pengeluaran riil C RT per kapita, ditemukan adanya polarisasi dalam distribusi C RT per kapita antarprovinsi. Sebagian wilayah di Indonesia memiliki tingkat C RT per kapita yang rendah, lewat hal ini dapat dikatakan menjadi refleksi dari kenyataan bahwa sebagian daerah di Indonesia masih belum menikmati pembangunan ekonomi.
Perbedaan dalam derajat pemerataan provinsi dapat diukur dengan distribusi pendapatan C menurut kelompok populasi per provinsi. Tingkat ketimpangan dikatakan tinggi jika 40% penduduk berpendapatan rendah (berpengeluaran rendah), hanya menikmati pendapatan kurang dari 12% dai seluruh pendapatan. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah dapat menikmati kurang dari 12% sampai dengan 17% dari seluru pendapatan, maka hal ini berarti telah terjadi ketimpangan sedang. Dan bila 40% penduduk berpendapatan rendah menikmati lebuh dari 17% dari seluruh pendapatan penduduk, tingkat ketimpangan rendah.
Tampak juga bahwa daerah-daerah di pulau Jawa memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar pulau Jawa. Namun demikian, beberapa provinsi di pulau Jawa juga memiliki pengeluaran C makanan yang relatif rendah dibandingkan dengan provinsi lainnya, seperti Bali, Kalimantan Timur, sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga terdiri dari semua pengeluaran atas pembelian barang dan jasa dikurangi dengan hasil penjualan neto dari barang bekas atau apkiran. Pengeluaran konsumsi rumah tangga juga meliputi nilai barang dan jasa yang dihasilkan untuk konsumsi sendiri, seperti hasil kebun, peternakan, kayu bakar dan biaya hidup lainnya serta barang-barang dan jasa.

Di samping itu, pengeluaran untuk pemeliharaan kesehatan, pendidikan, rekreasi, pengangkutan dan jasa-jasa lainnya termasuk dalam konsumsi rumah tangga. Pembelian rumah tidak termasuk pengeluaran konsumsi, tetapi pengeluaran atas rumah yang ditempati seperti sewa rumah, rekening air, listrik, telepon dan lain-lain merupakan konsumsi rumah tangga.

3.      Menganalisis Prinsip-prinsip Pembiayaan Daerah

1.                  Dana Cadangan
Dana Cadangan adalah dana yang dibentuk guna membiayai kebutuhan dana yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Dana Cadangan dibentuk untuk suatu tujuan tertentu secara spesifik. Pembentukan Dana Cadangan menggunakan rekening terpisah dari rekening kas daerah (Pembiayaan – Transfer ke Dana Cadangan).
Penggunaan Dana Cadangan harus sesuai tujuan yang telah ditetapan Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan dalam satu tahun anggaran. Pembentukan dana cadangan ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah mencakup penetapan tujuan pembentukan dana cadangan, program dan kegiatan yang akan dibiayai dari dana cadangan, besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan dan ditransfer ke rekening dana cadangan, sumber dana cadangan dan tahun anggaran pelaksanaan dana cadangan.

2.   Sumber Pendanaan Dana Cadangan
Pembentukan Dana Cadangan Daerah bersumber dari kontribusi tahunan penerimaan APBD, kecuali dari Dana Alokasi Khusus, Pinjaman Daerah dan Dana Darurat yang berasal dari Pemerintah. Dengan demikian, pemenuhannya bersumber dari Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak.
Sumber pendanaan ini sama dengan sumber pendanaan untuk belanja operasional (recurrent expenditures) sehingga menimbulkan terjadinya persaingan yang lebih ketat dalam mengalokasikan sumberdaya yang terbatas. Pemda belum diberikan kewenangan untuk menggunakan “kebijakan fiskal” seperti kebijakan pajak dan retribusi untuk mendanai program/kegiatan tertentu seperti halnya di negara2 maju. Secara faktual, kebijakan pajak bumi dan bangunan (PBB) masih ditangani oleh Pusat, meskipun sesungguhnya sangat potensial bagi pembangunan daerah.
Harus pula dipahami bahwa dana cadangan tidak boleh dibentuk dari pinjaman daerah. Hal ini tersirat dari pengertian dan tujuan ditariknya pinjaman daerah, yakni untuk mendanai program dan kegiatan berupa investasi yang menghasilkan aliran kas masuk (cash inflow) dan digunakan nantinya untuk pelayanan publik. Aliran kas masuk ini nantinya digunakan untuk mendanai pembayaran pokok pinjaman dan bunga dari pinjaman yang bersangkutan.

3.  Pengelolaan Dana Cadangan
Dana cadangan haruslah dikelola dengan baik, sehingga selama masa “penumpukkan” sampai saat dinilai cukup untuk digunakan dapat lebih produktif. Dalam hal ini, kebijakan harus diarahkan pada upaya memberdayakan “idle money” dalam bentuk dana cadangan.
Batasan tegas untuk pengelolaan dana cadangan ini adalah bahwa dana tersebut tidak boleh digunakan untuk tujuan selain yang telah ditetapkan dalam Perda tentang Pembentukan Dana Cadangan. Pengertian dari kata “digunakan” adalah dijadikan sebagai input (masukan) untuk aktifitas di SKPD/SKPKD Pemda.
Jika dana cadangan belum digunakan maka dapat “diberdayakan” untuk memperoleh hasil (return) berupa bunga atau dividen. Misalnya, diinvestasikan dalam bentuk deposito, SBI, atau SUN. Namun, hasil yang diperoleh haruslah dimasukkan ke dalam rekening dana cadangan sebagai penambah dana cadangan tersebut.
•                     Jenis Dan Jangka Waktu Pinjaman
1.    Pinjaman Jangka Pendek
Merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun anggaran dan Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Pendek yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang berkenaan.
2.    Pinjaman jangka Menengah
Merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain) harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan.
3.    Pinjaman Jangka Panjang
Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Panjang yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lain seluruhnya harus dilunasi pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.

4.      Menganalisis sumber-sumber potensial pendapatan suatu      daerah
                     
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari kegiatan ekonomi daerah itu sendiri. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu pilar kemandirian suatu daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, sumber PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pengembangan potensi akan menciptakan pendapatan asli daerah bagi yang berguna untuk melaksanakan tujuan pembangunan. Pengelolaan pendapatan asli daerah yang efektif dan efisien perlu dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi daerah maupun perekonomian nasional. Kontribusi yang dicapai dari pendapatan asli daerah dapat terlihat dari seberapa besar pendapatan tersebut disalurkan untuk membangun daerah agar lebih berkembang dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

               Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang utama dan sangat penting bagi pemerintah daerah. Pajak daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah terdiri dari Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Yani, pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah (2009). 
              Jadi, pemerintah daerah dalam hal meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) haruslah dapat dengan bijak menyaring apa saja yang dapat dimasukkan kedalam penerimaan PAD, dan ditentukan dalam Peraturan Daerah dan dibutuhkan sosialisasi dari pemda untuk memberikan informasi dan pemahaman yang seluas-luasnya mengenai PAD dan pentingnya bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan kepada masyarakat. Transparansi anggaran harus dilaksanakan guna meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah yang bersangkutan.

5.      Menganalisis Sumber Pendaptan daerah yang berasal dari      pinjaman

•                     Konsep Pinjaman Daerah
Konsep dasar pinjaman daerah dalam PP 54/2005 dan PP 30/2011 pada prinsipnya diturunkan dari UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, untuk memberikan alternatif sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman. Namun demikian, mengingat pinjaman memiliki berbagai risiko seperti risiko kesinambungan fiskal, risiko tingkat bunga, risiko pembiayaan kembali, risiko kurs, dan risiko operasional, maka Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal nasional menetapkan batas-batas dan rambu-rambu pinjaman daerah.

•                     PRINSIP DASAR PINJAMAN DAERAH
Beberapa prinsip dasar dari pinjaman daerah di antaranya sebagai berikut:
1.                  Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah.
2.                  Pinjaman Daerah harus merupakan inisiatif Pemerintah Daerah dalam rangka          melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah.
3.                  Pinjaman daerah merupakan alternatif sumber pendanaan APBD yang           digunakan untuk menutup defisit APBD, pengeluaran pembiayaan, dan atau       kekurangan kas.
4.                  Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar          negeri.
5.                  Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan terhadap pinjaman      pihak lain.
6.                  Pinjaman Daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara            pemberi pinjaman dan Pemerintah Daerah sebagai penerima pinjaman yang d ituangkan dalam perjanjian pinjaman.
7.                  Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan         jaminan pinjaman daerah.
8.                  Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.
9.                  Seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah            dicantumkan dalam APBD.

•                     Sumber Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah bersumber dari:
1.    Pemerintah Pusat, berasal dari APBN termasuk dana investasi Pemerintah, penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau penerusan Pinjaman Luar Negeri;
2.    Pemerintah Daerah lain;
3.    Lembaga Keuangan Bank, yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4.    Lembaga Keuangan Bukan Bank,yaitu lembaga pembiayaan yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
5.    Masyarakat, berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri.


Daftar Pustaka
Saragih, P.J. (2003). Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Slinko, Irina (2002). Fiscal Decentralization on The Budget Revenue Inequity among Munipacalities and Growth Russian Regions. Avaliable: http://www.econpapers.repec.org