Npm : 26214428
Kelas : 1EB28
Perekonomian Indonesia
Bab 2
1. Menganalisis mengenai
pembangunan daerah, otonomi , serta
hubungan keduanya
• Pembangunan
daerah
Pembangunan Daerah merupakan suatu usaha yang sistematik dari
berbagai pelaku, baik umum, pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat
lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan
keterkaitan aspek fisik, sosial ekonomi dan aspek lingkungan lainnya sehingga
peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap
secara berkelanjutan.
• Otonomi
Daerah
Otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya untuk mewujudkan
tercapainya salah asatu tujuan negara, yaitu peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui pemerataan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya.
Daerah memilki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakatyang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Tujuan pemberian otonomi daerah yaitu
untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan (Kuncoro, 2004).
• Hubungan
Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal
Kebijakan mengenai otonomi daerah tentunya diiringi dengan
adanya asas desentralisasi. Desentralisasi merupakan pengotonomian, yakni
proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Kaitan
desentralisasi dan otonomi daerah seperti yang diungkapkan oleh Gerald S.
Maryanow (2003) yaitu merupakan dua sisi dari satu mata uang. Desentralisasi
tersebut tentunya mencakup penyerahan wewenang dalam mengelola keuangan
daerahnya. Sehingga salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah
yakni adanya kebijakan desentralisasi fiskal.
2. Menganalisis perbedaan
ekonomi pada tingkat provinsi dan kabupaten
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat
pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin
Arsyad, 1999).
Masalah pokok dalam pembangunan daerah berada pada penekanan
terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasarkan pada kekhasan daerah
yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi
sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah).
Sehingga kita peru melakukan pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari
daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja
baru dan merangsang kegiatan ekonomi.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, yaitu
proses yang mencakup pembentukan-pembentukan institusi baru, pembangunan industri-industri
alternatif, perbaikam kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk
dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan pengembangan
perusahaan-perusahan baru.
Ada beberapa indikator untuk menganalisis derajat kesenjangan
dalam pembangunan ekonomi antarprovinsi, yaitu produk domestik regional bruto
(PDRB) per provinsi dalam pembentukan PDB nasional, PDRB atau pengeluaran
konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita, indeks pembangunan manusia (IPM),
kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB, dan tingkat kemiskinan.
1. Distribusi
PDB Nasional Menurut Provinsi
Distribusi PDB Nasional menurut provinsi merupakan indikator
utama di antara indikator lain yang umum untuk mengukur derajat penyebaran dari
hasil pembangunan ekonomi di suatu negara. Jika PDRB relatif sama antar
povinsi, maka PDB nasional relatif merata ntar provinsi, sehingga ketimpangan
pembangunan antar provinsi relatif kecil.
Salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa jika output
agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas), kontribusi PDB dari
wilayah-wilayah yang kaya migas, seperti di Aceh, Riau, Kalimantan Timur
menjadi lebih kecil lagi.Aceh menyumbang 3% terhadap PDB Indonesia; tanpa gas
hanya menyumbang 50%. Hal ini berarti 50% dari perekonomian Aceh tergantung
pada perekonomian sektor gas.
Begitu pula dengan Riau dan Kalimantan Timur yang menyumbang
5% pada PDB Indonesia, sedangkan tanpa minyak perannya hanya 2%. Namun, pada
tahun 2000, kontirbusi output regional yang dihasilkan oleh Aceh dan Kaltim
dengan dukungan sektor migas menurun menjadi 2,5% dan 1,6%, sedangkan Riau
mengalami peningkatan menjadi 5,4%. Hal ini memberikan kesan bahwa bukan suatu
jaminan bagi kinerja ekonomi suatu daerah yang kaya akan migas.
2. PDRB
Rata-rata per Kapita antar Provinsi
Karena tujuan dari pembangunan ekonomi adalah miningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan ini umum diukur dengan pendapatan rata-rata per
kapita, maka distribusi PDB Nasional menurut provinsi menjadi indikator yang
tidak berarti dalam mengukur ketimpangan pembangunan ekonomi regional jika
tidak dikombinasikan dengan tingkat PDRB rata-rata per kapita.
Jika PDRB per kapita di atas 2 juta rupiah dianggap tinggi
dan sebaliknya di bawah 2 juta dianggap rendah, dan pertumbuhan PDB per kapita
tinggi jika di atas 3%, dan rendah jika lebih kecil dari 3%.
Hasil perhitungan Tadjoeddin dkk. (2001) menunjukkan bahwa
PDRB dari 7 daerah pusat migas di Indonesia, yakni Aceh Utara, kepulauan Riau
dan Bengkalis, Kutai, Bulungan dan Balikpapan, dan Fakfak (Papua) menguasai 72%
dari PDB migas nasional. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa semua daerah
ini dengan jumlah penduduk yang hanya 9% dari total populasi Indonesia
menyumbang 33% dari PDB Nasional.
3. Konsumsi
rumah Tangga per Kapita antar Provinsi
Pengeluran Konsumsi C Rumah Tangga (RT) per kapita per
provinsi merupakan salah satu indikator alternatif yang dapat dijadikan ukuran
untuk melihat perbedaan dalam tingkat kesejahteraan penduduk atntar provinsi.
Konsepnya adalah semakin tinggi pendapatan per kapita suatu daerah, maka akan
semakin tinggi juga pengeluaran konsumsi per kaita di daerah tersebut. Dalam
hal ini juga terdapat 2 asumsi, yaitu sifat menabung dari masyarakat tidak
berubah (S terhadap PDRB tidak berubah) dan pangsa kredit di dalam RT juga
konstan. Tinggi rendahnya pengeluara C RT tidak dapat selalu mencerminkan
tinggi rendahnya pendapatan per kapita di suatu daerah, tanpa kedua asumsi
tersebut.
Dengan memakai data BPS mengenai pengeluaran riil C RT per
kapita, ditemukan adanya polarisasi dalam distribusi C RT per kapita
antarprovinsi. Sebagian wilayah di Indonesia memiliki tingkat C RT per kapita
yang rendah, lewat hal ini dapat dikatakan menjadi refleksi dari kenyataan
bahwa sebagian daerah di Indonesia masih belum menikmati pembangunan ekonomi.
Perbedaan dalam derajat pemerataan provinsi dapat diukur
dengan distribusi pendapatan C menurut kelompok populasi per provinsi. Tingkat
ketimpangan dikatakan tinggi jika 40% penduduk berpendapatan rendah
(berpengeluaran rendah), hanya menikmati pendapatan kurang dari 12% dai seluruh
pendapatan. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah dapat menikmati kurang dari
12% sampai dengan 17% dari seluru pendapatan, maka hal ini berarti telah
terjadi ketimpangan sedang. Dan bila 40% penduduk berpendapatan rendah
menikmati lebuh dari 17% dari seluruh pendapatan penduduk, tingkat ketimpangan rendah.
Tampak juga bahwa daerah-daerah di pulau Jawa memiliki
tingkat kesejahteraan yang lebih baik jika dibandingkan dengan provinsi lainnya
di luar pulau Jawa. Namun demikian, beberapa provinsi di pulau Jawa juga
memiliki pengeluaran C makanan yang relatif rendah dibandingkan dengan provinsi
lainnya, seperti Bali, Kalimantan Timur, sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Maluku dan Irian Jaya.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga terdiri dari semua
pengeluaran atas pembelian barang dan jasa dikurangi dengan hasil penjualan
neto dari barang bekas atau apkiran. Pengeluaran konsumsi rumah tangga juga
meliputi nilai barang dan jasa yang dihasilkan untuk konsumsi sendiri, seperti
hasil kebun, peternakan, kayu bakar dan biaya hidup lainnya serta barang-barang
dan jasa.
Di samping itu, pengeluaran untuk pemeliharaan kesehatan,
pendidikan, rekreasi, pengangkutan dan jasa-jasa lainnya termasuk dalam konsumsi
rumah tangga. Pembelian rumah tidak termasuk pengeluaran konsumsi, tetapi
pengeluaran atas rumah yang ditempati seperti sewa rumah, rekening air,
listrik, telepon dan lain-lain merupakan konsumsi rumah tangga.
3. Menganalisis
Prinsip-prinsip Pembiayaan Daerah
1. Dana
Cadangan
Dana Cadangan adalah dana yang dibentuk guna membiayai
kebutuhan dana yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Dana
Cadangan dibentuk untuk suatu tujuan tertentu secara spesifik. Pembentukan Dana
Cadangan menggunakan rekening terpisah dari rekening kas daerah (Pembiayaan –
Transfer ke Dana Cadangan).
Penggunaan Dana Cadangan harus sesuai tujuan yang telah
ditetapan Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai
kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan
dalam satu tahun anggaran. Pembentukan dana cadangan ditetapkan dengan
peraturan daerah. Peraturan daerah mencakup penetapan tujuan pembentukan dana
cadangan, program dan kegiatan yang akan dibiayai dari dana cadangan, besaran
dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan dan ditransfer ke
rekening dana cadangan, sumber dana cadangan dan tahun anggaran pelaksanaan
dana cadangan.
2. Sumber Pendanaan Dana Cadangan
Pembentukan Dana Cadangan Daerah bersumber dari kontribusi
tahunan penerimaan APBD, kecuali dari Dana Alokasi Khusus,
Pinjaman Daerah dan Dana Darurat yang berasal dari Pemerintah. Dengan demikian,
pemenuhannya bersumber dari Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Alokasi Umum (DAU), dan Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak.
Sumber pendanaan ini sama dengan sumber pendanaan untuk
belanja operasional (recurrent expenditures) sehingga menimbulkan
terjadinya persaingan yang lebih ketat dalam mengalokasikan sumberdaya yang
terbatas. Pemda belum diberikan kewenangan untuk menggunakan “kebijakan fiskal”
seperti kebijakan pajak dan retribusi untuk mendanai program/kegiatan tertentu
seperti halnya di negara2 maju. Secara faktual, kebijakan pajak bumi dan
bangunan (PBB) masih ditangani oleh Pusat, meskipun sesungguhnya sangat
potensial bagi pembangunan daerah.
Harus pula dipahami bahwa dana cadangan tidak boleh dibentuk
dari pinjaman daerah. Hal ini tersirat dari pengertian dan tujuan ditariknya
pinjaman daerah, yakni untuk mendanai program dan kegiatan berupa investasi
yang menghasilkan aliran kas masuk (cash inflow) dan digunakan nantinya
untuk pelayanan publik. Aliran kas masuk ini nantinya digunakan untuk mendanai
pembayaran pokok pinjaman dan bunga dari pinjaman yang bersangkutan.
3. Pengelolaan Dana Cadangan
Dana cadangan haruslah dikelola dengan baik, sehingga selama
masa “penumpukkan” sampai saat dinilai cukup untuk digunakan
dapat lebih produktif. Dalam hal ini, kebijakan harus diarahkan
pada upaya memberdayakan “idle money” dalam bentuk dana cadangan.
Batasan tegas untuk pengelolaan dana cadangan ini adalah
bahwa dana tersebut tidak boleh digunakan untuk tujuan selain yang telah
ditetapkan dalam Perda tentang Pembentukan Dana Cadangan. Pengertian
dari kata “digunakan” adalah dijadikan sebagai input (masukan)
untuk aktifitas di SKPD/SKPKD Pemda.
Jika dana cadangan belum digunakan maka dapat “diberdayakan”
untuk memperoleh hasil (return) berupa bunga atau dividen. Misalnya,
diinvestasikan dalam bentuk deposito, SBI, atau SUN. Namun, hasil yang
diperoleh haruslah dimasukkan ke dalam rekening dana cadangan sebagai penambah
dana cadangan tersebut.
• Jenis
Dan Jangka Waktu Pinjaman
1. Pinjaman Jangka Pendek
Merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun anggaran dan Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Pendek
yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya
harus dilunasi dalam tahun anggaran yang berkenaan.
2. Pinjaman jangka Menengah
Merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu
tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman (pokok pinjaman,
bunga, dan biaya lain) harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi
sisa masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan.
3. Pinjaman Jangka Panjang
Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Jangka Panjang yang
meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lain seluruhnya harus
dilunasi pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian
pinjaman yang bersangkutan.
4. Menganalisis
sumber-sumber potensial pendapatan suatu daerah
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber pendapatan daerah
yang berasal dari kegiatan ekonomi daerah itu sendiri. Pendapatan Asli Daerah
(PAD) merupakan salah satu pilar kemandirian suatu daerah. Menurut
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, sumber PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang
sah.
Pengembangan potensi akan menciptakan pendapatan asli daerah
bagi yang berguna untuk melaksanakan tujuan pembangunan. Pengelolaan pendapatan
asli daerah yang efektif dan efisien perlu dilaksanakan dengan mempertimbangkan
kondisi ekonomi daerah maupun perekonomian nasional. Kontribusi yang dicapai
dari pendapatan asli daerah dapat terlihat dari seberapa besar pendapatan
tersebut disalurkan untuk membangun daerah agar lebih berkembang dan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang utama dan
sangat penting bagi pemerintah daerah. Pajak daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah terdiri dari
Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. pajak daerah adalah kontribusi
wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Menurut Yani, pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan daerah (2009).
Jadi, pemerintah daerah dalam hal meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
haruslah dapat dengan bijak menyaring apa saja yang dapat dimasukkan kedalam
penerimaan PAD, dan ditentukan dalam Peraturan Daerah dan dibutuhkan sosialisasi
dari pemda untuk memberikan informasi dan pemahaman yang seluas-luasnya
mengenai PAD dan pentingnya bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan kepada
masyarakat. Transparansi anggaran harus dilaksanakan guna meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah yang bersangkutan.
5. Menganalisis Sumber
Pendaptan daerah yang berasal dari pinjaman
• Konsep
Pinjaman Daerah
Konsep dasar pinjaman daerah dalam PP 54/2005 dan PP 30/2011
pada prinsipnya diturunkan dari UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, untuk
memberikan alternatif sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, maka pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman. Namun demikian, mengingat
pinjaman memiliki berbagai risiko seperti risiko kesinambungan fiskal, risiko
tingkat bunga, risiko pembiayaan kembali, risiko kurs, dan risiko operasional,
maka Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal nasional menetapkan batas-batas
dan rambu-rambu pinjaman daerah.
• PRINSIP
DASAR PINJAMAN DAERAH
Beberapa prinsip dasar dari pinjaman daerah di antaranya
sebagai berikut:
1. Pemerintah
Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah.
2. Pinjaman
Daerah harus merupakan inisiatif Pemerintah Daerah dalam rangka melaksanakan
kewenangan Pemerintah Daerah.
3. Pinjaman
daerah merupakan alternatif sumber pendanaan APBD yang digunakan
untuk menutup defisit APBD, pengeluaran pembiayaan, dan atau kekurangan
kas.
4. Pemerintah
Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.
5. Pemerintah
Daerah tidak dapat memberikan jaminan terhadap pinjaman pihak
lain.
6. Pinjaman
Daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemberi
pinjaman dan Pemerintah Daerah sebagai penerima pinjaman yang d ituangkan
dalam perjanjian pinjaman.
7. Pendapatan
daerah dan/atau barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan
pinjaman daerah.
8. Proyek
yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat
dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.
9. Seluruh
penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan
dalam APBD.
• Sumber
Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah bersumber dari:
1. Pemerintah Pusat, berasal dari APBN
termasuk dana investasi Pemerintah, penerusan Pinjaman Dalam Negeri, dan/atau
penerusan Pinjaman Luar Negeri;
2. Pemerintah Daerah lain;
3. Lembaga Keuangan Bank, yang
berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
4. Lembaga Keuangan Bukan Bank,yaitu
lembaga pembiayaan yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
5. Masyarakat, berupa Obligasi Daerah
yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal dalam
negeri.
Daftar Pustaka
Saragih, P.J. (2003). Desentralisasi Fiskal dan Keuangan
Daerah dalam Otonomi. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Slinko, Irina (2002). Fiscal Decentralization on The Budget
Revenue Inequity among Munipacalities and Growth Russian Regions. Avaliable:
http://www.econpapers.repec.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar